Di atas tilam nipis berlapik cadar lusuh, tubuh dua insan kini bersatu dalam diam yang padat. Cahaya malap dari mentol kuning menggantung di tengah siling menyirami mereka dengan bayang-bayang yang bergetar mengikut nafas masing-masing.
Mekya terbaring, matanya terpejam wajahnya tenang, tapi bibirnya sedikit terbuka, nafasnya tidak sekata. Tubuhnya yang kecil, runcing, berbalut peluh halus. Setiap lekuk di dadanya bergerak perlahan, mengikuti irama degupan yang makin deras.
43Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcxnCigoVQo
Aman berada di sisi, merenungnya seperti seorang pengembara yang baru tiba di hadapan pintu rahsia yang selama ini hanya disebut dalam kitab-kitab lama.
“Aku tak akan terburu,” bisik hatinya.
“Permata itu bukan untuk diragut… tapi untuk dihargai dan dihayati.”
43Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZLt1SaAiV5
Tangannya menjalar ke rusuk Mekya, menyusuri sisi tubuh yang menggigil kecil setiap kali jarinya menyentuh urat sensitif. Mulutnya pula menjelajah bukan sekadar mencium, tapi menyulam kasih dengan cermat, seolah-olah ingin mencipta puisi dari setiap inci kulit yang dirasai lidahnya.
43Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZziLIeZemO
Dia turun perlahan, menyentuh leher Mekya dengan hujung bibir yang lembut… kemudian ke dada yang bergetar, dada bulat membukit agak besar jika dibandingkan tubuh mekya yang agak runcing mungkin dari penampilan luaran buahdadanya disembunyikan oleh baju yang sedikit longgar atau bra yang ketat.
Aman meramas lembut dada Mekya, jilat puting secara lembut dan membasahkan kawasan sensitif payudara Mekya membuatkan mekya mendesah tak keruan. Nafas mekya semakin kencang, Aman tak lepaskan peluang menghisap lembut payudara ranum mekya.
"arkhhh..umphhhhh...abee..." desah Mekya
dan akhirnya Aman turun ke lembah rahsia tempat yang dalam kitab Melayu lama disebut sebagai "Permata", "mahkota", atau "bunga kehidupan".
Mekya merangkul leher Aman, menggenggam kuat dengan jari jemari yang halus. Tubuhnya kini tidak lagi hanya berbaring ia melentik, membalas setiap sentuhan dengan gerak tubuh yang seakan menari dalam gelombang nikmat.
“Abee…” bisiknya, suara itu hampir tiada, hanya hembusan basah dari bibir yang menggigil.
Ketika Aman menurunkan wajahnya ke lembah itu dia tidak tergesa. Jarinya menolak lembut membuka belahan kerang yang tidak berbau hanyir malah seperti keadaan sangat fresh berbau wangi dan licin seperti hari-hari dishave rapi.
Lidah Aman mula berputar lembut, menyisir seperti angin bayu menyentuh kelopak bunga yang baru mekar. Dia tahu, rahsia di situ bukan sekadar fizikal itu adalah pintu jiwa seorang perempuan. Dan dia menjelajahnya bukan untuk menakluk… tapi untuk menyembah keindahannya.
Gerak lidahnya seperti membaca mantera lama, turun naik, bulat, memusat… dan akhirnya menjengah tepat ke titik tersembunyi di balik kelopak permata.
G-spot seperti tertulis dalam lembaran Kamasutra adalah pusat denyut tertinggi seorang wanita. Dan ketika lidah Aman menemuinya, menyapa dengan ritma yang lambat tapi tajam, tubuh Mekya melentik tanpa suara, hanya desahan panjang memecah udara.
“Uummmphhh… Abe…”
suaranya dalam, bergema dari dada. Tubuhnya menggigil, bukan dalam takut, tapi dalam satu ledakan rasa yang tak mampu dipadam atau disorok lagi.
Cairan keasyikan mula mengalir keluar dari belahan kerang fresh Mekya menuruni celahan kangkangannya. Peluh juga mengalir. Tilam mula renyuk. Nafas mula berpusu.
Dan dalam keghairahan yang tidak dilafaz, tubuh mereka bergerak dalam posisi demi posisi yang bukan semata untuk kenikmatan, tapi untuk saling meneguk jiwa masing-masing.
Kadang Aman di sisi, mencium tengkuk Mekya sambil tubuh mereka berpaut seperti Yab-Yum, posisi klasik keseimbangan cinta dan tenaga.
Kadang Mekya duduk meriba, membimbing dengan tangan kecilnya, seperti The Lotus, di mana mata bertemu mata dan segala rasa terikat dalam gerak perlahan, dalam, dan sempurna.
---
Dan ketika malam sampai ke kemuncaknya,
mereka tidak lagi dua jasad.
Mereka hanyalah satu
satu nafas, satu degup, satu rasa.
Dan Permata itu, sudahpun ditemui.
43Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyXZlJcupGK
