Memasuki minggu-minggu akhir Februari, Indah mendongak ke langit Makassar yang cukup cerah. la menghela nafas panjang. Menarik kopernya, lalu melangkah ke arah ruang check-in di depan sana. Sesekali menoleh ke belakang. Rasanya berat meninggalkan negara ini. Namun, hatinya sudah menetapkan jika ia harus mencoba untuk berdamai dan mencari kebahagiaannya di tempat lain. Setidaknya, Indah bisa mencoba menyembuhkan hatinya di tempat barunya itu nanti. Meskipun tidak benar-benar sembuh, ia hanya ingin belajar melepaskan sesuatu yang memang bukan ditakdirkan untuknya.
Jika ditakdirkan bersama, pasti mereka dipertemukan lagi. Indah percaya dengan hal tersebut.
"Jangan lupain kita, ya!" Teriak Rhika, salah seorang sahabat terbaiknya. Membuyarkan lamunan perempuan manis dengan kulit coklat eksotisnya tersebut.
"Sesekali, kita akan berlibur kesana. Tunggu gue dan Rhika, ok?" Lia ikut berteriak.
Indah mengangguk dan tersenyum hingga matanya sisa segaris, bahagia karena masih ada yang berada di sisinya.
"Gue cuma pindah doang, kok. Gak ada rencana lupain kalian. Gue pamit, ya." Sahutnya. Lalu kembali dadah-dadah dan masuk ke ruang check-in.
Setelah selesai dengan semua proses, Indah memasuki pesawat. Beberapa menit kemudian pesawat yang akan mengantarkan Indah ke Australia mulai mengudara.
"Selamat tinggal Indonesia. Selamat tinggal, kak Alvian" Gumamnya, menatap kota Makassar dari kaca jendela pesawat.
Beberapa cairan bening jatuh begitu saja di pipinya. la menyekanya dengan pelan. Sesak. Mengingat kembali hari-hari dimana ia selalu bahagia dengan kekasihnya, Alvian. Kakak tingkatnya sejak SMA. Indah sudah menjalin kasih dengan Alvian sejak ia duduk di tahun kedua SMA, hingga kini mereka sudah menduduki bangku universitas.
Mereka sudah bersama dari awal Alvian berhasil menemukan mimpinya, Indah juga yang membantunya menemukan dan meyakinkannya; menjadi seorang pemain basket yang mendunia. Saat ini Indah sudah semester 4 (tahun kedua) dan Alvian semester 6 (tahun ketiga). Indah yang selalu menyemangati dan menemani kekasihnya sejak awal. Seperti ini.
"Kak, ayo sini istirahat sama makan siang dulu." Indah membuka paper bag yang tadi ia bawa dan mengeluarkan satu kotak bekal dan dua botol minuman. Alvian yang masih berlatih itu berhenti sejenak, lalu menoleh kepada kekasihnya yang duduk di pojok ruangan; menunggunya yang sedang latihan untuk lomba basket tingkat nasional, mewakili kampusnya.
Pemuda tampan itu menyeka keringat di wajahnya dengan handuk kecil lalu berjalan dan duduk di depan Indah. Indah lalu mengambil alih handuk kecil itu dan menyeka keringat di pelipis Alvian. Lalu mengambil sendok dan membuka kotak bekal yang ia bawa.
"Tadi yang nganter kesini siapa?" Tanya Alvian, sambil menerima suapan Indah di depannya.
"Diantar kak Angga. Tadi kebetulan kak Angga ada urusan di kampus." Sahut Indah. la masih menyuapi kekasihnya tentu saja. Jika Indah tidak datang, Alvian pasti akan lupa untuk makan dan hanya fokus dengan latihan basketnya. Indah sangat paham dengan kebiasaan kekasihnya tersebut.
"Hm. Nanti pulang bareng Lia atau Rhika, ya." Pintanya kepada Indah. Indah menaikkan satu alisnya, sepengetahuannya, Alvian tidak ada kelas setelah latihan basket hari ini.
"Aku ada latihan basket sampe malam bareng Rafa." Lanjut Alvian, melihat keterdiaman Indah. Intinya ia tidak bisa mengantar Indah pulang ke apartemennya.
Indah mengangguk pelan. Berusaha mengerti kesibukan sang kekasih. Selalu seperti ini, Alvian yang begitu sibuk dengan ambisinya dan Indah yang selalu dituntut untuk memahami. Sejak Alvian yang aktif mengikuti klub basket di kampusnya dan sering mengikuti lomba. Bahkan untuk menghabiskan weekend bersama saja mereka sudah sangat jarang. Bertemu di kampus jika Indah yang menghampiri.
Seringkali Alvian lupa mengabari jika ia tidak bisa pulang bersama saat Indah sudah menunggu berjam-jam, dan akhirnya Indah diberitahu sahabat Alvian - Rafa - jika kekasihnya sedang latihan di ruangan basket (tempat latihannya di dalam ruangan kayak yang di drama love O2O) selalu bersabar dan memahami. la selalu menemani dan menyemangatinya dalam tahap-tahap Alvian akan menggapai mimpinya; menjadi seorang pemain basket yang diakui dunia.
°
°
°
"Omongin baik-baik coba, Indah." Saran Rhika di suatu sore di bulan Desember. Kini Indah, Rhika dan Lia sedang duduk di sebuah kafe terkenal di dekat kampus. Indah menyeruput greentea latte miliknya, kemudian menoleh kepada Rhika. la kembali meletakkan greentea latte tersebut di atas meja.
"Gue gapapa kok. Kalian gak usah khawatir ya." Ucap Indah dengan senyum selalu terlukis di wajah manisnya.
"Ini udah 3 bulan, Indah. Lo udah kayak gak dianggap sama kak Alvian. Kayak lo doang yang anggap dia kekasih, tapi dianya gak anggap lo sama sekali. Lo terlalu baik." Sela Lia. la tidak terima jika sahabatnya diabaikan oleh Alvian dan pemuda itu lebih mengutamakan basketnya.
"lya, Indah. Lo gak bisa kayak gini terus. Malah sekarang lo jarang kan dikabari sama kak Alvian." Tambah Rhika. Indah menghela nafas panjang. la juga tidak mau hubungannya dan Alvian renggang seperti ini. Namun ia mencoba terus memahami kesibukan kekasihnya tersebut.
"Gapapa, kak Alvian kan lagi berjuang buat mimpinya. Gue harus rela waktunya dibagi buat gue sama mimpinya."
"Tapi ini gak dibagi Indah, lo dilupakan. Dia cuma sibuk sama basketnya, sedangkan dia gak tau kalo lo lagi butuh dia." Lia berujar kesal. Mata Indah memanas. la berusaha menahan air mata di pelupuk matanya agar tidak jatuh. la berusaha kuat. Sebenarnya ia pun lelah, menunggu Alvian akan menjadikannya prioritas kembali seperti dulu.
°
°
°
Saat tahun pertama kuliah, dimana Alvian selalu bisa membagi waktu untuk kuliah, dirinya dan basket. Indah hanya berharap Alvian bisa meluangkan waktu untuk sekedar pulang bersama dengannya. Tapi sepertinya keinginan kecilnya sangat sulit terwujud. Karena Indah benar-benar berambisi untuk mimpinya dan mengorbankan waktunya bersama dengan Indah begitu saja. Indah sering mengirim pesan dan akan dibalas beberapa hari kemudian. Begitu pun di acara kencan mereka, Alvian akan sering terlambat datang. Bahkan Indah sudah menunggu berjam-jam. Namun Indah tetap bersabar dan berpikir jika itu karena Alvian berjuang demi mimpinya. Dia harus tetap mendukung apapun yang membuat Alvian bahagia.
"Maaf ya, kakak baru selesai latihan bareng Rafa dan yang lain." Ucap Alvian yang terlambat menemui Indah di sebuah kafe pada suatu sore di bulan Januari.
Indah mengangguk dan tersenyum. Alvian datang meskipun sibuk dengan latihan basketnya. Indah bahagia. Indah masih mempertahankan hubungannya dengan Alvian. Tidak mengindahkan saran Rhika dan Lia beberapa minggu lalu yang memintannya meninggalkan Alvian. Karena Alvian yang semakin sibuk dengan dunia basket dan ambisinya yang ingin memenangkan kompetisi basket internasional bulan Maret nanti.
"Kakak jangan terlalu capek ya. Nanti sakit dan mimpi kakak buat ikut kompetisi gagal." Ucap Indah seraya tersenyum manis, mengingatkan Alvian tentang kesehatannya.
"lya. Kamu mau ngomong apa sampe ngajak jalan keluar?" Tanya Alvian, membuat senyum di wajah Indah semakin memudar. Apa harus ada yang dibicarakan baru ia bisa mengajak kekasihnya untuk jalan bersama?
"Aku cuma mau ngabisin waktu bareng kakak. Aku kangen." Sahut yang lebih muda. Mereka dekat, namun terasa sangat jauh bagi Indah. Setiap hari Indah melihat Alvian di kampus, namun tidak bisa bertemu dan sekedar jalan berdua. Kekasihnya terlalu sibuk dengan mimpinya.
"Hm. Abis ini mau langsung pulang kan? Kakak ada janji ke tempat Rafa bareng Rahmat." Ucap Alvian, tidak menangkap sinar kerinduan di manik sang kekasih. Indah menghela nafas. Alvian benar-benar semakin jauh dan berubah.
"Kakak langsung ke tempat Rahmat aja, ya. Aku nanti bisa pulang sendiri." Indah tersenyum tulus. Hatinya teriris. Alvian menyeruput Iced Americano yang dipesankan Indah untuknya hingga habis lalu mencium kening kekasihnya sekilas kemudian pamit. Meninggalkan Indah yang menangis dalam diam.
°
°
°
Memasuki bulan Februari, intensitas keduanya bertemu semakin berkurang. Bahkan Indah melihat Alvian sering berkumpul dengan tim basketnya yang akan mengikuti kompetisi basket tingkat internasional bulan Maret nanti; mimpi Alvian dari SMA.
la menghela nafas lelah. Melangkah lurus ke ruang dekan untuk mengurus kepindahannya.
Pertengahan Februari, Indah mengirimkan pesan kepada Alvian untuk bertemu.
"Kakak jangan skip makan ya. Jangan tidur larut, istirahat yang cukup. Biar kakak gak sakit. Aku mau pamit." Ucap Indah lirih. Alvian menoleh. Keduanya duduk di sebuah bangku taman.
"Hm. Kalo gak ada yang penting lagi, aku duluan ya. Rafa udah nelfon buat cepat ke ruang latihan soalnya." Alvian mengusak pelan surai hitam kekasihnya. Abai dengan kalimat terakhir Indah yang mengucap pamit karena ia terlalu fokus dengan getar ponsel di tangannya.
°
°
°
Di awal Maret, Alvian baru menyadari, jika Indah menghilang. Tidak ada dimana pun. Bahkan nomor ponselnya tidak aktif. la mendatangi apartemen Indah, namun kosong. (Mampus Kao)
"Nyari apaan kak?" Tanya seorang pemuda tampan yang lebih muda dari Alvian.
"Kebetulan, lo liat Indah gak? Akhir-akhir ini dia gak keliatan." Tanya Alvian kepada Chris, tetangga Indah di gedung apartemen mewah itu, adik tingkat Alvian.
"Lah, katanya kak Indah udah bilang sama kakak kalo dia pamit. Kok gak tau?" Chris berujar heran.
"Hah? Pamit? Kemana?" Tanya Alvian.
"Ke Australia. Katanya dia dapat beasiswa disana. Aussie." Alvian terdiam. Bahkan ia tidak tahu jika kekasihnya pamit untuk pergi ke luar negeri. Karena besarnya ambisi yang ia miliki dan terlalu egois dengan memposisikan Indah untuk terus memahaminya.
"Thanks ya." Ucapnya pendek. Kemudian Alvian pergi dari sana.
°
°
°
Semakin mendekati hari kompetisinya, Alvian semakin menyibukkan diri untuk latihan dan persiapan. Tetap fokus ke basket nya dan berencana mencari Indah setelah memenangkan kompetisi nantinya.
la bahkan melupakan pesan Indah yang memintanya menjaga kesehatan dan istirahat. Jadwal tidur dan makannya pun berantakan. Dua minggu sebelum hari H kompetisi basket, Alvian tetap terus latihan bahkan memaksakan diri. Tidak menghiraukan nasihat teman tim nya yang memintanya istirahat. Biasanya Indah yang akan mengingatkan. Bahkan memaksanya istirahat, namun karena tidak ada Indah, jadi tidak ada yang melawan keras kepalanya itu. la terlalu ambisius, sampai lupa dengan kesehatan; lupa jika tubuhnya butuh istirahat.
Hingga mimpinya yang ada di depan mata harus buyar karena ambisi dan keegoisannya sendiri. la mengalami cidera saat latihan. Karena terlalu kelelahan dan tidak fokus. Pendaratannya saat pergerakan melompat tidak tepat, sehingga dia jatuh. Dunianya seperti diterjang badai besar; semuanya hancur. Mimpi yang ia bangun dari SMA bersama Indah hancur dalam sekejap mata. Kakinya patah, harus dirawat inap di rumah sakit dalam beberapa minggu kedepan hingga pulih. Melewati tanggal kompetisi basket, 24 Maret.
Alvian sangat terpukul. Tidak ada Indah. Tidak ada kompetisi pebasket pro yang akan diakui dunia. la mengurung diri. Meletakkan semua kesalahan pada dirinya. Menyesali keeogoisannya sehingga Indah pergi meninggalkannya. Bahkan ia menyesali ketidaksadarannya yang membuat Indah tersiksa selama setengah tahun ini. Alvian menyesal, namun itu tidak bisa membuat Indah kembali. Indah yang selalu tersenyum cerah setiap hari untuknya. Indah yang membuat ia menemukan mimpinya dan terus termotivasi menggapai impiannya ditemani oleh sang kekasih yang terus menyemangatinya.
Namun ia melupakan Indah juga prioritasnya. la lupa jika Indah manusia biasa, dan bisa lelah. Perempuan manis Makassar yang sudah menyerah atas ambisi dan keegoisannya. Alvian pun menyerah.
°
°
°
Indah mengeryitkan dahinya bingung. Memperhatikan layar datar di depannya yang menampilkan siaran langsung kompetisi basket tingkat internasional yang diadakan di Makassar, Indonesia. Sudah hampir satu jam menonton, namun ia belum melihat orang yang ia tunggu tampil.
"Apa dia tampil terakhir?" Gumamnya. Menoleh ke ponselnya yang bergetar di atas meja, lalu meraihnya.
"Halo? Rhika, ada apa?" Sapanya lembut. Ada keterdiaman di seberang sana. Indah masih menunggu sahabatnya itu berbicara. Meskipun pikiran buruk terus menggerogoti kepalanya. Namun ia berusaha menampiknya.
"Indah, kak Alvian di rumah sakit. Dua minggu yang lalu dia cidera. Gak usah tunggu penampilan dia, ok. Gue gak mau lo ngabisin waktu di depan televisi cuma buat nungguin dia." Rhika berujar pelan di seberang sana. Indah terdiam. Berusaha mengingat kembali hari-hari dimana Alvian yang selalu tersenyum jika bercerita mengenai mimpinya.
"Kemarin, dia juga melakukan percobaan bunuh diri, tapi berhasil dicegah. Untungnya, Mama nya melihatnya dengan cepat." Ucap Rhika dengan berat hati menceritakan hal tersebut. Membuat Indah sadar dari lamunannya. Rhika sangat tahu, Indah masih sangat mencintai pemuda heartless (menurut Rhika dan Lia) tersebut. Dan pasti akan langsung shock.
Indah blank. Pikirannya kosong. la hampir pingsan dan jatuh ke lantai jika Papanya tidak menahan tubuhnya dan mengguncangnya agar tersadar.
"Pa, aku harus ke Indonesia." Lirihnya pelan.
°
°
°
Dengan langkah cepat, Indah menelusuri lorong rumah sakit dan membuka pintu ruangan yang diberitahukan resepsionis tadi kepadanya ketika sampai. la menekan kenop pintu dan mendorongnya pelan lalu masuk ke dalam sana dengan langkah sangat pelan. Menemukan seseorang yang masih sangat ia cintai terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Dengan tangan yang ditempeli selang infus dan kaki yang terbalut. Air matanya sudah jatuh. la takut untuk mendekat.
Cklek
Sampai seseorang memasuki ruangan tersebut.
"Indah?" Sapa Mama nya Alvian ketika melihat Indah hanya berdiri diam dan menangis tanpa kata. Alvian yang hanya berbaring (tidak tidur) di atas ranjang berbalik cepat ketika mendengar nama Indah disebut. la akhirnya bertemu tatap dengan Indah, orang yang selalu menemaninya dari awal. la berusaha bangkit dan turun dari ranjang, namun dicegah oleh Mama nya. Indah masih menangis dengan tangan terkepal dan bergetar di tempatnya berdiri.
"Maaf." Ucap Indah, masih dalam isaknya. Alvian menggeleng cepat.
"Maaf udah ninggalin kakak dan bikin kakak gagal dalam kompetisi itu. Hiks." Lanjutnya. Alvian turun dari ranjang, berhasil lepas dari Mamanya. la dengan cepat membawa tubuh Indah ke dalam pelukannya. Menciumi pucuk kepala Indah dengan sayang dan mengeratkan pelukannya. Air matanya pun ikut jatuh. Hatinya sakit melihat Indah menyalahkan diri sendiri. Setelah beberapa menit, ia menjauhkan tubuh keduanya lalu menyeka air mata yang mengalir di pipi Indah. Mama nya Alvian pun ikut menangis haru melihat putranya dan Indah menangis pilu. la sangat tahu perjalanan panjang serta lika-liku hubungan keduanya.
"Mama keluar dulu. Indah, jagain Alvian ya. Mama percaya sama kamu." Mengusak surai Indah sayang lalu hilang di balik pintu.
"Kamu gak salah. Kakak yang salah. Makasih udah kembali." Gumam Alvian yang kembali membawa tubuh sang kekasih ke dalam pelukannya.
"Makasih kakak udah bertahan." Sahutnya. Indah kembali membawa tubuh Alvian ke ranjang perawatan lalu membantunya naik ke ranjang tersebut.
Alvian Menatapnya lekat seakan takut Indah menghilang jika ia berkedip.
"Jangan pergi lagi. Kakak bakal menebus semua kesalahan kakak."
Indah tersenyum manis.
"Gapapa, kakak cukup di sisi aku, aku udah bahagia. Kakak cepat sembuh ya. Mimpi kakak pasti bakal terwujud suatu saat." Balas Indah. Alvian tersenyum tulus. la sangat beruntung memiliki Indah di sisinya. Indah sangat memahami bahkan selalu mengalah demi dirinya.
Alvian sangat bahagia. Akhirnya Tuhan mengirimkan keajaiban padanya; membawa Indah - belahan jiwanya - kembali ke sisinya. la berjanji akan menjaganya kali ini seperti permata yang berharga. Begitu juga Indah, hatinya yang tidak bisa melupakan Alvian meski berada jauh di Australia sana. la bahagia, Alvian kembali. Meski mimpi sang kekasih harus gagal untuk kali ini. la akan menemani sang kekasih mewujudkan mimpinya yang sempat gagal.
•••END•••
Akhirnya setelah berhari-hari nd update :v
ns 172.70.127.35da2